Cerita dibalik hikmah #1

Published December 8, 2014 by Sheilla Selvina

Pagi ini saat akan memulai stase koas yg baru..Family medicine..Tiba2 teringat suatu cerita yg kakak saya alami sewaktu ia bekerja di rumah sakit..
Kakak saya bekerja di sebuah rumah sakit ibu dan anak Bandung.Pasiennya jadi antara wanita,para ibu dan anak2.Ini selalu menjadi hal yg saya kesalkan karena saat kakak saya cerita tentang pasiennya,otomatis biasanya yang akan banyak diceritakan adalah pasien anak2.Itu menjadi salah satu alasan saya tidak ingin mengambil spesialisasi ilmu kesehatan anak meski beberapa orang,termasuk ayah saya,menyarankan hal itu.Saya paling tidak tega melihat anak2 yang sakit..

Kakak saya cerita tentang seorang pasien anak yg harus terkena penyakit Tuberculosis paru.Anggap saja namanya Aisyah.Sesaknya adalah saat seorang anak terkena penyakit tersebut,ia biasanya merupakan korban dari penularan penyakit Tuberculosis di sekitarnya.Anak tersebut sudah parah kondisinya saat dibawa ke rumah sakit.Yang saya makin terenyuh adalah cerita kakak saya..,

“Anaknya baik,De..Gak rewel kayak pasien anak yg lain.Kalau dia lagi sesek napasnya,cuma dibilang Ade sesek ya?Bobo y sambil pake oksigen.Jangan dilepas oksigen sama makan yg banyak y biar cepet sehat.Anaknya nurut..banget..cuma ngangguk terus langsung bobo.Sedih kan De liat anak kayak gitu.Anaknya juga cantik.”
Air mata saya mulai mengalir.Saya malah jadi membayangkan kalau misalnya keponakan saya yg mengalami hal itu..Ya Allah semoga mereka selalu sehat,tumbuh dan berkembang dengan baik..

Saatnya dokter harus memberitahukan keadaan anaknya pada kedua orang tua adalah hal yg paling tidak menyenangkan.Tidak tega,tapi itu adalah hal yg harus dilakukan.Saat memberi tahu bahwa keadaan anaknya yang sebenarnya semakin melemah..Pedihnya pasangan suami istri ini,terutama sang Ayah dengan tegarnya meski tetap meneteskan air matanya,masih mampu berkata,

“Tidak apa-apa,Dok..Dokter sudah berusaha.Segalanya saya sekarang serahkan pada Allah.Biarlah sakitnya Aisyah ini bisa menjadi hikmah untuk umat.”

Kemudian apa yg terpikir?Pasti sudah buruk pemikirannya..Saya pun demikian..Cerita itu akhirnya berselang sekitar 2 bulan.Kakak saya baru cerita lagi mengenai kondisi terakhir Aisyah.

“De,kan kemarin kakak main ke tempat perawatan terus diceritain sama perawat disana.Ternyata selang kakak pindah kerja dari full timer jadi part time,ibunya Aisyah dateng ke rumah sakit minta ketemu sama dokter2 yg sebelumnya ngerawat Aisyah dan ngucapin terima kasih.Terus ibunya Aisyah bawa anak kecil perempuan di kerudung lincah gitu lucu.Kan ditanya sama perawatnya,itu adiknya Aisyah ya?Ibunya jawab..oh gak itu Aisyah..Alhamdulillah setelah dirujuk,Aisyah sembuh..”

Senyum haru langsung terkembang tanpa ragu bagi yg tahu mengenai Aisyah..
Ternyata itu semua memang bagaimana hikmah yg mau kita ambil.Saat kita percaya Allah,Allah tidak akan mengingkari janjinya..

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,maka katakanlah sesungguhnua Aku dekat.Aku mengabulkan doa orang yg memohon apabila ia memohon kepadaKu.Maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (QS Al-Baqarah:186)

INFJ (ini kyanya memang yg paling gk berubah)

Published December 7, 2014 by Sheilla Selvina

Portrait of an INFJ – Introverted iNtuitive Feeling Judging
(Introverted Intuition with Extraverted Feeling)The Protector

As an INFJ, your primary mode of living is focused internally, where you take things in primarily via intuition. Your secondary mode is external, where you deal with things according to how you feel about them, or how they fit with your personal value system.

INFJs are gentle, caring, complex and highly intuitive individuals. Artistic and creative, they live in a world of hidden meanings and possibilities. Only one percent of the population has an INFJ Personality Type, making it the most rare of all the types.

INFJs place great importance on havings things orderly and systematic in their outer world. They put a lot of energy into identifying the best system for getting things done, and constantly define and re-define the priorities in their lives. On the other hand, INFJs operate within themselves on an intuitive basis which is entirely spontaneous. They know things intuitively, without being able to pinpoint why, and without detailed knowledge of the subject at hand. They are usually right, and they usually know it. Consequently, INFJs put a tremendous amount of faith into their instincts and intuitions. This is something of a conflict between the inner and outer worlds, and may result in the INFJ not being as organized as other Judging types tend to be. Or we may see some signs of disarray in an otherwise orderly tendency, such as a consistently messy desk.

INFJs have uncanny insight into people and situations. They get “feelings” about things and intuitively understand them. As an extreme example, some INFJs report experiences of a psychic nature, such as getting strong feelings about there being a problem with a loved one, and discovering later that they were in a car accident. This is the sort of thing that other types may scorn and scoff at, and the INFJ themself does not really understand their intuition at a level which can be verbalized. Consequently, most INFJs are protective of their inner selves, sharing only what they choose to share when they choose to share it. They are deep, complex individuals, who are quite private and typically difficult to understand. INFJs hold back part of themselves, and can be secretive.

But the INFJ is as genuinely warm as they are complex. INFJs hold a special place in the heart of people who they are close to, who are able to see their special gifts and depth of caring. INFJs are concerned for people’s feelings, and try to be gentle to avoid hurting anyone. They are very sensitive to conflict, and cannot tolerate it very well. Situations which are charged with conflict may drive the normally peaceful INFJ into a state of agitation or charged anger. They may tend to internalize conflict into their bodies, and experience health problems when under a lot of stress.

Because the INFJ has such strong intuitive capabilities, they trust their own instincts above all else. This may result in an INFJ stubborness and tendency to ignore other people’s opinions. They believe that they’re right. On the other hand, INFJ is a perfectionist who doubts that they are living up to their full potential. INFJs are rarely at complete peace with themselves – there’s always something else they should be doing to improve themselves and the world around them. They believe in constant growth, and don’t often take time to revel in their accomplishments. They have strong value systems, and need to live their lives in accordance with what they feel is right. In deference to the Feeling aspect of their personalities, INFJs are in some ways gentle and easy going. Conversely, they have very high expectations of themselves, and frequently of their families. They don’t believe in compromising their ideals.

INFJ is a natural nurturer; patient, devoted and protective. They make loving parents and usually have strong bonds with their offspring. They have high expectations of their children, and push them to be the best that they can be. This can sometimes manifest itself in the INFJ being hard-nosed and stubborn. But generally, children of an INFJ get devoted and sincere parental guidance, combined with deep caring.

In the workplace, the INFJ usually shows up in areas where they can be creative and somewhat independent. They have a natural affinity for art, and many excel in the sciences, where they make use of their intuition. INFJs can also be found in service-oriented professions. They are not good at dealing with minutia or very detailed tasks. The INFJ will either avoid such things, or else go to the other extreme and become enveloped in the details to the extent that they can no longer see the big picture. An INFJ who has gone the route of becoming meticulous about details may be highly critical of other individuals who are not.

The INFJ individual is gifted in ways that other types are not. Life is not necessarily easy for the INFJ, but they are capable of great depth of feeling and personal achievement

Menikah adalah..

Published November 18, 2014 by Sheilla Selvina

Menikah …
Bukan sekedar pesta yang riuh oleh kerabat, kolega dan relasi penting

Menikah..
bukan ajang pamer tamu kehormatan, Panggung megah, dekorasi wah, dan pesta yang meriah

Menikah…
Bukan sekedar membentuk tim kerja untuk menghasilkan uang untuk membeli segala jenis harta yang melimpah

Menikah…
Bukan sekedar sarana belajar memasak dan menjahit bagi istri
Dan sarana belajar membetulkan peralatan listrik bagi suami

Menikah bukan sekedar menyamakan hobi dan kegemaran—
Sehingga sampai ada adagium humor: Kalau dua-duanya doyan musik, berarti ada gejala bisa langgeng..
Kalau sama-sama suka seafood berarti masa depan cerah… ( That simple ?! 🙂

Menikah bukan sekedar itu…

menikah Berbeda dengan perumpamaan sepasang sandal, yang hanya punya aspek kiri dan kanan,

menikah adalah persatuan dua manusia.. pria dan wanita. Dari anatomi saja sudah tidak sebangun.. apalagi urusan jiwa dan hatinya….. ,

So,
menikah adalah …

Menyatukan dua isi kepala, dua ide, dua impian menjadi sesuatu yang besar – Bermakna – tak hanya untuk kita dan pasangan, dan anak, namun juga untuk orang lain di sekitar

Menikah adalah…
memutuskah berlabuh di satu pantai, ketika ratusan kapal pesiar gemerlap memanggil-manggil

menikah adalah
cara meraih sempurnanya agama, hingga menikah dikatakan sempurna menjalani setengah din

Menikah adalah…
keberanian untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan, memupuk toleransi tingkat tinggi, memaklumi pasangan apa adanya

Menikah membutuhkan kelapangan hati untuk melebur kata ‘aku’ dan ‘kamu’ menjadi ‘kita’

Menikah adalah proses pendewasaan seseorang untuk lebih berani memutuskan.
Bahkan untuk urusan terkecil sekalipun

Menikah adl kerjasama hebat untuk bergerak, bersinergi untuk mendapatka tiket surga

Menikah adalah universitas kehidupan dmn cobaan materi, hati, iman adalah ujiannya……semoga setiap kt meraih pernikahan berkah…(from buku ajari anakmu cinta by.melyraharjo)

Committed by Elizabeth Gilbert

Published November 9, 2014 by Sheilla Selvina

Lovely part from this book :

IMG_1605.JPG

“Jadi,ketika pertama kalinya aku memulai bisnis permata,”lanjut Felipe,”biasanya aku mendapatkan masalah karena terlalu bersemangat mengenai satu atau dua batu aquamarine sempurna yg ada di dalam parsel dan tidak memperhatikan sampah yg mereka masukkan ke dalamnya.Setelah cukup sering mendapat masalah,akhirnya aku menjadi bijaksana dan mempelajari ini : Kau harus mengabaikan batu permata yg sempurna.Kau bahkan tak boleh melihatnya dua kali karena mereka membutakanmu.Letakkan mereka jauh-jauh dan perhatikan batu-batu yg sangat jelek.Perhatikan mereka untuk waktu yg cukup lama dan bertanyalah pada dirimu dengan jujur,”Bisakah aku bekerja dengan batu-batu ini?Bisakah aku mendapatkan sesuatu dari batu-batu ini?Kalau tidak,kau baru saja menghabiskan banyak uang untuk satu atau dua butir batu aquamarine cantik yg terkubur dalam tumpukan sampah tak berharga.”

“Kurasa hubungan pun sama saja.Orang selalu jatuh cinta dengan aspek paling sempurna dari kepribadian pasangannya.Bagaimana tidak? Siapap pun bisa mencintai bagian paling mengagumkan dari orang lain. Tapi,itu bukan trik yg cerdas. Trik yg sangat cerdas adalah : Bisakah kau menerima kekurangannya?Bisakah kau melihat kekurangan pasanganmu dengan jujur dan berkata,’Aku bisa menghadapinya.Aku bisa melakukan sesuatu mengenai hal itu?’ Karena hal-hal yg hebat akan selalu ada disana, dan akan selalu indah dan berkilau, tapi sampah dibawahnya bisa menghancurkanmu”

What we say is our personality

Published January 29, 2014 by Sheilla Selvina

Hm…Beberapa hari ini..beruntung. Beruntung bahwa sampai hari ini Allah masih terus menunjukkan rasa kasihNya melalui ujian dariNya. Beruntung bahwa sampai hari ini Allah masih mengizinkan kita manusia untuk terus belajar sabar meski mendapat ucapan sangat menyakitkan dari saudara seiman kita sendiri

Bahaya lisan….Afatul lisan..

“Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu; Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia” (QS Al-Isra : 53)

Dari Mu’az bin Jabal radhiallahuanhu dia berkata : Saya berkata : Ya Rasulullah, beritahukan saya tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari neraka, beliau bersabda: Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah ta’ala, : Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji. Kemudian beliau (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda: Maukah engkau aku beritahukan tentang pintu-pintu surga ?; Puasa adalah benteng, Sodaqoh akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam (qiyamullail), kemudian beliau membacakan ayat (yang artinya) : “ Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya….”. Kemudian beliau bersabda: Maukah kalian aku beritahukan pokok dari segala perkara, tiangnya dan puncaknya ?, aku menjawab : Mau ya Nabi Allah. Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad. Kemudian beliau bersabda : Maukah kalian aku beritahukan sesuatu (yang jika kalian laksanakan) kalian dapat memiliki semua itu ?, saya berkata : Mau ya Rasulullah. Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda: Jagalah ini (dari perkataan kotor/buruk). Saya berkata: Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ?, beliau bersabda: Ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkel wajahnya di neraka –atau sabda beliau : diatas hidungnya- selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka (Hadits Arbain 29)

Saat tidak sengaja membuka Al-Qur’an pagi ini secara random, ayat ini yang Allah perlihatkan dan tiba-tiba menjadi fokus mata begitu saja. Ayat ini bentuk peringatan setelah saya mendengar cerita dari teman mengenai efek dari bahaya lisan itu sendiri. Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Saat membaca 1 kalimat itu yang terpikir mungkin Allah ingin menyampaikan bahwa perkataan yang lebih baik (benar) bukan hanya sekedar lebih baik (benar) isinya, tapi juga lebih baik (benar) cara penyampaiannya dan lebih baik (benar) pemahaman kita terhadap lawan bicara kita. Misalnya saja kita berniat baik terhadap seseorang dan mencoba menyampaikannya dengan baik, tapi tetap saja orang lain belum tentu bisa merespon dengan baik, apalagi jika tidak. Atau..misalnya tiba-tiba karena kita mendapat informasi dari seseorang tiba-tiba saja secara lantang bicara yang tidak-tidak atau malah jadi menyebarkan fitnah. Sudah begitu bicaranya dibelakang orang yang bersangkutan. Sangat beruntung jika setelah bicara dibelakang, orang yang bersangkutan tidak mengetahui. Tapi yang harusnya dipikirkan jika orang yang bersangkutan itu tahu bagaimana. Masalahnya sudah dibawah emosi tinggi ditambah dengan kata-kata fitnah yang tidak ada hubungannya dengan konteks permasalahan, tapi didepan orang yang bersangkutannya masih manis. Itu contoh saat ternyata kontennya yang tidak baik apalagi benar (Gosipp). Kadang..hal itu terasa seperti..

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka , karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” . (QS Al-Hujurat:12)

Lain lagi masalah cara penyampaian dan masalah kita yang harus paham lawan bicara kita itu seperti apa. Pemilihan kata yang disampaikan akan sangat berpengaruh dan kata yang salah bisa menimbulkan masalah. Meskipun dalam urusan pekerjaan yang memang dibutuhkan objektivitas tinggi. Perasaan orang lain tetap harus dipikirkan. Atau hanya karena 1 hal kecil, tiba-tiba kita langsung mengeneralisir orang yang bersangkutan dengan judge sesuatu. Contohnya teman kita 1 kali telat masuk kuliah karena mungkin alasan yang masih bisa dimaklumi dan kita tahu selama ini dia selalu on time, tapi tiba-tiba kita langsung bilang “kamu gak disiplin banget sih” hanya karena 1 kejadian. Is it fair?

Mungkin itu yang sering orang bilang dengan,”Kalau bicara itu dipikir dulu” atau yang jelas salah satu hadits mengatakan,

” Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Muttafaq alaih)

Tema ini menjadi menarik karena masalah ini sering sekali terjadi. Saat kata-kata bisa menjadi lebih membunuh dibanding pisau..iya, membunuh..bisa membunuh semangat atau mungkin sampai membunuh karakter seseorang. Dan gawatnya adalah yang sering terjadi itu biasanya di kaum para wanita. C’mon sis..we are lady, right? Kenapa saya pakai lady? Karena lady biasanya lebih digunakan untuk bentuk penghormatan terhadap seorang wanita dan bisa dibilang lebih tinggi derajatnya dibanding sekedar woman/female..atau..mungkin lebih ahsan lagi untuk saya dan teman-teman saudara seiman..kita ini muslimah kan? Kalau kata Bunda Asma Nadia di buku beliau yang berjudul Jangan Jadi Muslimah Nyebelin,”Jangan jadi muslimah yang suka nyinyir..” Itu betul..

Karena kita seorang lady/muslimah yang pasti ingin dihormati. Belajar untuk bisa menghormati diri sendiri dulu dengan salah satunya menjaga lisan. Meski niatnya bercanda apalagi serius, kata-kata yang kita keluarkan itu mencerminkan diri kita itu patut dihormati orang lain atau nggak. Apalagi kita sebagai khalifah di muka bumi ini berkewajiban untuk menyampaikan ayat-ayatNya meski hanya 1 ayat. Kalau kita tidak bisa menjadi lisan kita, bagaimana kita bisa membuat orang lain mau mendengar kita saat kita berniat baik menyampaikan 1 ayatNya.. Setiap informasi cerna dulu maksudnya apa. Jika sudah ada pikiran buruk yang datang duluan menghampiri, coba konfirmasi apakah yang kita pikirkan itu benar atau nggaknya. Saat kita tahu hati kita sesama wanita dan sesama manusia itu halus dan peka, mengapa kita harus saling menyakiti sesama wanita dan sesama manusia dengan lisan kita?

Meraih cahaya..Menjadi cahaya..

Published April 10, 2013 by Sheilla Selvina

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS An-Nuur : 35)

 

 

Saat tadi sore baru ingat lagi tulisan ini belum sempat terpost. Tulisan ini makin mantap dipost hari ini karena ada pertanyaan dari seseorang..

 

“Kenapa kita harus masuk dalam lingkaran tarbiyah/mentoring?”

 

Tadi sore sejenak mengikuti pembukaan SKOMEN (Sekolah mentor) yang diadakan oleh KAMI Asy-Syifaa’ dan ada materi motivasi tentang mengapa kita sebaiknya menjadi mentor. Mentor disini maksudnya tentu mentoring agama Islam. Materi ini diberikan dengan pembukaan pertanyaan kepada para peserta yang hadir saat itu

 

“Ingin punya pendamping hidup yang seperti apa?”

 

Unik. Karena memang langsung memunculkan banyak respon dari peserta, tapi tentu yang paling banyak merespon biasanya ikhwan. Dari jawabannya patuh pada suami, sholehah, sederhana, dan masih banyak hal. Tapi saya setuju karena biasanya akan lebih terbayang bagaimana seseorang yang ideal itu. Itu kepribadian muslim atau sering disebut Muwasaffat Islam.

               

                Mentoring. Masalah dibina dan membina. Mungkin pemikiran itu masuk menjadi pemikiran berat bagi banyak orang. Berat karena berpikiran bahwa iman dan amal ibadah selama ini belum cukup dan belum pantas untuk membina orang lain. Atau…merasa kumpulan orang-orang yang mau dibina adalah orang yang agamanya sudah tinggi. Kenyataannya adalah….

                Pada zaman nabi kita, Rasulullah SAW, beliau pun menjalani program mentoring ini dengan para sahabat untuk terus berdiskusi tentang agama. Dari cara sembunyi-sembunyi…kemudian sampai pada masa ini, kita pada masa saat mentoring sudah tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Kita sebagai manusia menurut saya memang butuh proses dibina itu. Mengapa? Karena kita butuh lingkungan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sebagaimana sudah ada dipikiran masing-masing adalah seharusnya Islam itu dijalaninya secara kafaah. Tidak setengah-setengah. Maksudnya adalah saat kita beragama Islam, segala tingkah laku, pola pikir, santun bicara semua sesuai dengan aturan Islam yang baik.

                Ingin menjawab pertanyaan kenapa kita harus mentoring? Kalau saya akan menjawab, saya butuh mentoring. Kenapa? Karena iman saya masih naik turun dan saya butuh lingkungan dimana saya minimalnya merasa malu saat saya berbuat menyimpang dari aturan agama dan karena saya manusia yang mudah khilaf saya butuh untuk selalu diingatkan. Mentoring 1 minggu sekali ini adalah sebuah majelis ilmu yang InsyaAllah dari kita berniat, melangkahkan kaki menuju tempat pertemuan, pembukaan sampai penutup pun banyak malaikat-malaikat Allah yang duduk bersama kita disana.

                Mentoring adalah proses kita meraih cahaya. Teteh mentor saya pernah bilang bahwa mentoring ini merupakan salah satu pengali amal ibadah kita. Pengali? Iya, pengali. Karena kita tidak pernah tahu amal ibadah kita itu sudah menjadi amal yang cukup untuk mendapat ridho-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya atau tidak. Allah adalah Sang Maha Pemberi Cahaya. Allah akan memberikan cahaya-Nya kepada orang-orang yang Ia kehendaki. Salah satu contoh orang yang diberi cahaya Allah itu adalah Rasulullah SAW. Cahaya Allah tidak serta merta hadir pada kita tanpa kita terus mendekat pada-Nya. Tanpa terus mengingat-Nya. Tanpa terus menambah ketaatan pada-Nya.

                Ilmu yang didapat dari mentoring yang kita dapatkan, dapat menjadi bekal kita untuk hidup. Menjalani hidup yang seimbang di segala bagiannya. Salam menjadi pembuka majelis sebagai bentuk saling mendoakan kita sebagai sesama muslim. Ucapan Basmallah menjadi pengembali niat kita untuk meniatkan mentoring ini karena Allah. Tilawah menjadi pembuka mentoring bukan hanya sekedar tilawah tanpa makna. Tilawah dan tadabur ayat menjadi pengingat bahwa Allah sudah begitu murah hati-Nya pada kita manusianya menurunkan Al-qur’an sebagai pedoman hidup yang paling sempurna dan tidak perlu ada keraguan lagi mengenai isinya.

Tanya kabar setelahnya menjadi pengingat tentang kabar kita dalam 1 minggu ini. Sudah sebaik apa kita selama seminggu ini. Pertanyaan kabar fisik menjadi pengingat kita sudah sebaik apa kita menjaga kesehatan kita dan sudah sebersyukur apa kita saat kita diberi kesehatan full 1 minggu ini dari Allah. Pertanyaan kabar ruhani/amalan yaumi menjadi alarm warning bagi kita apakah ibadah kita makin baik? sesuai dengan target amalan yaumikah? apakah bisa terus menambah amalan yaumi yang kita lakukan? atau biasa-biasa saja atau malah cenderung menurun? Dan masih banyak modifikasi tanya kabar-kabar yang lain. Sampai tanya kabar bagaimana keluarganya? Sehatkah orang tuanya? Menjadi warning bagi kita sudah sepeduli apa kita dengan keluarga kita sendiri.

Tidak hanya kabar kita yang disharing di temu mentoring 1 minggu 1x itu. Akan ada sharing kabar dari teman 1 kelompok mentoring kita yang akan kita dengar. Sadarkah kita? Bahwa itu adalah cara kita mau sabarkah kita mendengarkan orang lain? Karena biasanya kalau sudah sharing kabar suka kebablasan jadi banyak curcol. Atau..bisa ditanya bagaimana kabar amanah kuliah atau amanah di kegiatan UKMnya? Hal itu menjadi pengingat saat kita mungkin menjadi orang yang kurang bertanggung jawab pada amanah-amanah itu.

Setelah itu dilanjut dengan materi-materi tentang agama, bisa aqidah, fiqh atau banyak hal yang lainnya. Dengan terus berpedoman kepada Al-qur’an membuka mata kita bahwa Al-Qur’an memang pedoman yang paling lengkap untuk hidup yang bernafaskan Islam. Setelah materi berakhir, ucapan Hamdallah menjadi penutup sebagai bentuk rasa syukur kesempatan dan waktu yang sudah Allah berikan untuk kita menambah ilmu. Istighfar dan doa kifaratul majelis menjadi pengingat bahwa barangkali selama dalam majelis ilmu itu justru hanya melakukan hal-hal yang sia-sia atau ada kesalahan yang kita lakukan dalam majelis itu. Kadang ada yang menambahkan doa rabithah agar kelompok mentoring itu bisa menjadi lebih dekat dan makin mencintai karena Allah satu sama lain.

Begitu indahnya lingkungan mentoring. Hingga Allah lagi-lagi begitu baik memberikan lingkungan indahNya untuk membantu kita merubah diri. Begitu baik memberikan lingkungan indahNya untuk membantu kita meraih cahaya untuk menjadi cahaya. Sungguh tidak ada kerugiannya dari hal itu jika kita memang sungguh-sungguh dengan benar.

Lain lagi dengan menjadi pembina. Dalam hal ini kita akan mempunyai adik-adik yang akan kita bina. Akan kita terus ajak menuju kebaikan. Kita yang akan menggantikan teteh mentor kita untuk memberikan materi. Orang-orang lebih sulit lagi berpikiran hal ini..Karena mungkin memang perannya lebih besar. Tapi..tahukah kenyataannya? Sebenarnya..mereka yang menjadi mentor bukan orang-orang yang sudah tinggi ilmu atau amalan ibadahnya. Justru mungkin yang paling lemah. Mengapa? Karena orang-orang tersebut merasa lemah mereka mencari cara untuk menjadi kuat dengan menjadi mentor. Misalnya? Saat pementor mendukung atau menjadi pendorong peningkatan amalan yaumi adik menteenya, sebenarnya mereka sedang menasihati dirinya sendiri untuk ikut belajar dan kalau bisa lebih dari itu. Mereka mungkin yang paling lemah karena mereka tahu mereka lebih sering khilaf dari manusia yang lain maka dari itu mereka mencari cara untuk menjaga mereka dari hal-hal maksiat. Dan pementor mau tidak mau, suka tidak suka menuntut menjalani proses akselerasi yang lebih jauh dibanding adik menteenya. Tapi akselerasi iman itu yang InsyaAllah akan menjaga mereka.

Pentingnya proses tarbiyah atau proses permentoringan ini untuk akhwat begitu banyak. Karena saya akhwat maka saya ikut sharing hal yang saya tahu tentang urgensi tarbiyah ini untuk akhwat. Dalam hidupnya, peran akhwat begitu banyak. Sebagai anak, istri, ibu, dan juga sebagai pelaku masyarakat. Doa anak yang sholeh adalah doa yang ditunggu orang tua kita karena hanya doa dari anak yang sholeh yang Allah kabulkan. Lantas sudah sholeh sampai manakah kita? Itu adalah salah satu contohnya. Sudahkah kita menjadi anak yang mau membantu orang tua dan berbakti kepada orang kita selama ini?

Peran kita menjadi istri pun bukan perkara mudah jika kita tidak dibina. Percaya atau tidak bukan perkara mudah kita menjadi istri yang taat pada suami. Bukan perkara mudah menjalani hidup satu atap 7 hari, 24 jam bersama orang yang mungkin sebenarnya lebih banyak perbedaannya dengan kita. Dengan mengikuti proses tarbiyah yang terus menerus tanpa henti diharapkan kita tahu hak dan kewajiban kita sebagai seorang istri dan mencari cara bagaimana menyatukan visi dengan suami kita untuk membangun keluarga yang mendapat ridho Allah. Perkara keluarga yang mendapat ridho Allah pun tidak berhenti di hubungan kita dengan suami kita, tapi juga dengan anak-anak kita. Peran kita menjadi ibu dipertaruhkan disini. Pendidikan agama yang baik penting untuk mengarahkan dalam pembentukan moral anak-anak kita sehingga menuntut kita menjadi ibu yang baik dalam proses tarbiyah.

Mengikuti proses tarbiyah ini membuat kita makin sadar. Amal ibadah kita mungkin masih sedikit dan kita butuh amalan-amalan ibadah untuk terus menjadi umat-Nya yang selalu beriman dan bertakwa kepadanya. Terus berusaha menambah amalan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah hingga menjadi cahaya karena cahaya-Nya karena itulah alasan kita diciptakan Allah ke dunia. Sehingga, proses tarbiyah yang tanpa henti ini yang akan membuat kita meraih cahaya dan menjadi cahaya dengan cahaya-Nya.

Wallahu’alam bishawab

 

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS An-Nahl-125)

 

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

(QS Adz-Dzariyat : 56)

Renungan

Published March 16, 2013 by Sheilla Selvina

Cinta itu memang hakikatnya membuat buta pelakunya.Cinta membuat pelakunya cenderungengorbankan sgla yg dimiliki tnpa mengartikannya pengorbanan.

Begitu pun Allah,begitu cintanya Ia dgn manusia tidak peduli saat mungkin kemarahan merajalela karena umat-Nya yg tidak taat.Ia masih berikan sgla fasilitas hidup yg kita rasakan sampai sekarang dan saat kita berbuat 1 kebaikan,Allah tidak membalasnya dgn 1 tapi mungkin minimalnya membalasnya dengan berpuluh kali lipat.

Lantas bagaimana cinta kita pada Nya?Bukankah cinta itu ada saat kedua tangan saling bertepuk.Sudahkah kita benar2 cinta padaNya?memang sudah apa saja yang kita berikan kepadaNya?
Waktu?Aktivitas?Jiwa?Hati?Pikiran?Sudahkah terisi penuh cinta untukNya?atau malah justru terisi dengan cinta lain yg lebih besar dari cinta kpdNya?Lalu pantaskah Allah merasa cemburu padahal kita selalu ingin didahulukan kepentingan kita oleh-Nya?

50 menit

Published January 23, 2013 by Sheilla Selvina

Minggu ini sudah minggu terakhir ujian akhir semester 5. Nggak kerasa. Padahal, kayak baru kemarin mikir ini mau SOOCA kenapa nggak deg-degan. Perasaan baru kemarin, hampir diserang anak-anak puren karena salah ngasih info kloter OSCE yang semester ini lagi dapet bagian pas banget diminggu yang sama dengan SOOCA. Tapi, memang selalu seperti itu. Teteh selalu bilang kalau ujian itu cuma pintu yang tinggal kita buka, kita lewati, setelah itu? Kita akan mulai lagi masuk ke dalam babak baru. Percayalah bahwa mau nggak mau, suka nggak suka, hal itu tetap akan menghadang kita untuk kita lewati.

Tiba-tiba pingin ngomentarin tentang SOOCA di tempat saya kuliah. Percaya atau nggak, pembicaraan tentang SOOCA akan selalu membuat mahasiswa FK Unpad mengeluarkan ekspresi yang berbeda-beda. Apalagi kalau jadwal ujian yang setia keluar 3-4 minggu sebelum ujian dimulai. Minta dipampang, ditempel dan diingat. SOOCA sebentar lagi lho..udah berapa case? Mau bikin draft sooca nggak? Aduh..nanti dapet kasus apa ya? Pengujinya siapa ya? Jadi, sebenarnya SOOCA itu apa? Nah..buat yang bingung kenapa sih ujian SOOCA kayaknya selalu menjadi hal yang agak-agak membuat mahasiswa tempat saya kuliah terdiam terpaku dan malah kadang pingin nangis

SOOCA itu sejenis ujian lisan kasus. Jadi, sebelum ujian ini, mahasiswa akan menerima sistem pembelajaran kurang lebih 16 minggu, yang didalamnya beragam jumlah kasus tutorialnya bisa 16 atau lebih yang harus kita hapalkan dan kita mengerti dengan baik dari A-Znya kasus itu. Nah, terus pas SOOCA ngapain? Ya..pas SOOCA, yang pasti ada ruang isolasinya dulu, terus kalau namanya udah dipanggil buat ujian, mahasiswa akan digiring ke ruangan flipchart (ruangan untuk membuat flipchart/alat bantu untuk presentasi kasus yang didapat) yang dipintunya udah ada penjaga yang bakal ngasih kocokan nomor meja. Perhatian, nomor meja bukan nomor urutan kasus tutorial yang selama ini didapat. Kemudian kita menuju meja masing-masing -> waktu dimulai -> buka kertas kasus -> buat flipchart selama 30 menit -> waktu habis -> menuju ruang presentasi yang sesuai dengan nomor meja (didalamnya ada 2 orang penguji yang bakal dengerin presentasi kita) -> waktu mulai -> presentasi 20 menit -> waktu habis -> tunggu penguji diskusi nilai -> dihari yang sama kita presentasi, dihari yang sama pula kita langsung tahu kita lulus atau nggak, kita dapat nilai berapa. Dan..nilai yang didapat itu akan menjadi 40% nilai 16-17 SKS . Dan kasus yang kita dapat itu, belum tentu sama mutlak dengan kasus yang pernah dibahas waktu belajar, jadi bisa aja ada kasus jenis baru yang tapi memang nggak beda jauh. Biasanya..patogenesisnya yang berbeda

Jadi, percaya atau nggak 50 menit SOOCA itu akan menentukan kita akan dapat nilainya bagaimana. Hal itu yang membuat mahasiswa punya harapan yang beda-beda, ada yang pingin banget dapat nilai A, tapi nggak sedikit juga yang cuma berharap yang penting lulus ujian SOOCA. Karena kalau misalnya remedial SOOCA, nilai tertinggi yang bisa didapat hanya 56 dan tidak mungkin dapat nilai lebih dari itu. Dari harapan yang berbeda-beda itu, usaha yang dilakukan oleh tiap-tiap mahasiswanya pun berbeda-beda. Ada yang ya..bisa sambil leha-leha, ada yang tiap hari menjelang SOOCA begadang atau nggak tidur dan sampai ada yang ngerasa kalau ketiduran lagi belajar SOOCA itu adalah dosa. Jadi, nilai SOOCA yang didapat itu bukan hanya dari usaha kita yang cuma 50 menit itu, dan bukan hanya usaha kita dari beberapa minggu menjelang SOOCA. Tapi, nilai SOOCA itu bisa merupakan usaha kita selama kita dalam proses pembelajaran tutorial itu.

50 menit SOOCA, nggak beda dengan 50 menit kita selama ini sholat 5 waktu (konversi perkiraan setiap kita sholat paling cepat 10 menit). Harapan manusia pun berbeda-beda. Ada yang mau masuk selama dunia akhirat mendapat ridho Allah dan meraih surga firdaus, ada yang berpikir ya saya biasa-biasa saja jadi manusia, ada yang leha-leha dan masih banyak hal lain. Dan kita pun sendiri tahu, bahwa kalau misalnya pada saatnya nanti saya mau masuk surga Firdaus, nggak bisa kalau hanya mengandalkan sholat 5 waktu saya itu. Harus banyak usaha-usaha pendukung lain untuk meraih surga Firdaus itu. Tidak mudah? Memang..Dari ujian SOOCA pun terlihat mahasiswa yang benar-benar mempersiapkan dan yang tidak. Mahasiswa yang belajarnya bukan hanya buat SOOCA saja atau kebalikannya. Mungkin umat manusia pun begitu. Terlihat manusia yang benar-benar terus memperbaiki diri dan yang tidak. Mengapa begitu? Entah benar atau tidak, tapi yang saya lihat, manusia yang benar-benar terus memperbaiki diri akan terus semakin khusyuk sholatnya (50 menit). Dan, sudah seberapa baik diri kita untuk bisa meraih surgaNya?

Memperbaiki diri manusia ini berarti dalam konteks terus memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Tapi, kenapa di tulisan ini lebih memperhatikan sholat dibanding ibadah-ibadah lain?

“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama” (HR. Bayhaqi)

“Sesungguhnya ibadah yang pertama kali dihisab di hari kiamat kelak adalah sholat, jika sholatnya baik, maka baiklah seluruh amal perbuatannya, dan jika sholatnya buruk (cacat), maka akan rusaklah seluruh amal perbuatannya.” (HR. Thabrani)

Ya..jadi karena itu. Tapi memang nggak bisa disamain juga antara 50 menit SOOCA dan 50 menit kekhusyukan. SOOCA sebenarnya hanya akan memberikan hasil sepercik kecil dunia dan sholat InsyaAllah yang justru akan memberi kita banyak hal dunia dan akhirat saat kita menjalaninya dengan khusyuk. Tapi mungkin dari SOOCA 50 menit, harusnya setelah kita mendapat nilai bisa membuat kita menjadi lebih baik. Karena tanpa Kenapa? Harusnya, setelah SOOCA 50 menit misalnya kita mendapat nilai A harusnya jadi semangat kita untuk saat ada ujian SOOCA lagi bisa dapat nilai A lagi. Tapi, kalau pun misalnya kita dapat nilai jauh dibawah harapan atau misalnya remedial, justru itu harusnya menjadi semangat lebih lagi untuk kita untuk mungkin selama ini ada yang salah dari proses belajar dan mau memperbaiki diri dengan lebih baik.

                Setelah sholat 50 menit, apalagi kita tidak pernah tahu hasilnya, apakah kita sudah menjadi umatNya yang terbaik atau belum, apakah kita sudah mendapat ridhoNya atau belum jadi harus terus menambah semangat kita untuk memperbaiki diri dengan sabar dan tidak pernah berhenti. Termasuk menambah ibadah selain 50 menit sholat itu. Mengapa? Karena setelah kita melakukan semua usaha itu, hasilnya hanya dapat dilihat di akhirat nanti dan sayangnya tidak pernah ada remedial untuk lulus atau tidaknya. Sehingga sholat kita pun tidak bisa jika kita lakukan asal-asalan, asal melaksanakan kewajiban tanpa memaknainya menjadi pengingat akan kuasa Allah yang begitu besar. Dan sholat kita pun tidak bisa jika hanya dijadikan ibadah satu-satunya yang kita lakukan. Karena di ujian di tempat saya kuliah pun, SOOCA bukan hanya satu-satunya ujian untuk mendapatkan nilai karena nilai SOOCA hanya 40% dan sisanya tetap ada akumulasi dengan ujian tulisnya.

                Lalu saat sholat dan ibadah-ibadah lainnya ada disebagian hidup kita sama seperti SOOCA dan ujian tulis itu ada di sebagian waktu kegiatan belajar mengajar 1 semester, bagaimana sebagian hidup kita yang lain? Saat waktu dihidup kita itu kita isi dengan segala aktivitas yang kita punya? Atau mungkin harusnya pola pikirnya diubah. Mungkin harusnya tujuan kita itu dari awal sampai akhir adalah untuk bisa menjadi dokter yang baik dan bermanfaat dan ujian itu, baik SOOCA atau ujian tulis yang lainnya adalah salah satu jalan kita menuju tujuan kita itu. Sama seperti kita menjadi umatNya, saat tujuan kita adalah menggapai ridho dan surgaNya, segala proses dan aktivitas/pekerjaan kita jadikan ibadah, termasuk sholat (50 menit) dan segala ibadah yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, kita jadikan salah satu jalan menuju ridho dan surga-Nya

Wallahu bishawab

Syukur dan Sabar

Published December 29, 2012 by Sheilla Selvina

Rasa Syukur & sabar m’buat hidup kita menjadi indah.
Rasa Syukur & sabar m’buat yg sedikit terasa cukup &berkah.
Rasa Syukur & Sabar m’ubah apa yg kita miliki saat ini menjadi lebih berharga.
Rasa Syukur & Sabar mengubah mslh yg kita miliki menjadi hikmah yg bernilai.
Rasa Syukur & Sabar mengubah hidangan sederhana terasa menjadi istimewa.
Rasa Syukur & Sabar mengubah rumah yg sempit terasa lapang dan nyaman.
Rasa Syukur & Sabar mengubah kegagalan menjadi pelajaran berharga.
Rasa Syukur & Sabar mengubah kekeruhan suasana menjadi kejernihan.
Rasa Syukur & Sabar mengubah yang tidak nyaman menjadi menyenangkan..!.:*
(Message text from papa 🙂 )